Pagi ini, saya akan membagikan cerita pendek atau cerpen motivasi yang berjudul "Ketika Ayah Duduk Diam Termenung".Cerita pendek ini saya dapatkan dari salah satu siswa di Kabupaten Kebumen. Dengan Cerita pendek ini semoga dapat memotivasi bagi kita untuk selalu sayang, cinta, dan hormat kepada orang tua kita.
Air mata ini serasa enggan terhenti. Mata tak bisa enyah melihat sosok tua disana. Tangannya yang mulai keriput, rambutnya yang mulai memutih, gemetar mulaii menyamut tubuhnya.
Ketika Ayah Duduk Diam Termenung
https://assets-a2.kompasiana.com |
Suatu hari, ketika pelangi masih mengitari hidupku, Ayah, Ibu dan adikku. Allah memberikan kebahagiaan abadi pada setiap umatnya. Hari itu seperti biasa, mentari pagi menyambut hangat pagiku. Bau bumbu-bumbu masak menghampiriku dan menembus indra penciumanku. Ibu sudah terbangun, sedangkan Ayah masih tertidur. Dipandang olehku tubuh Ayah yang mulai berubah. Dulu ia seorang lelaki yang kuat. Namun sekarang ia mulai melemah. “Lemah”, kata itu tidak ayah tunjukan pada sunia, aku tahu ketika ayah merasa sakit dan tidak kuasa menahan lara punggungnya. Ayah menahannya sendiri. Dia tidak mau melihat istri dan anaknya risau.
“Selamat pagi..” sahut Ibu menyapaku.
“Pagi bu, baunya enak sekali?” balasku.
“Iya dong, hari ini Ibu masakkan ayam. Apa sudah sholat?”
“Sudah bu.”
“Sebentar, Ibu bangunkan Ayah dan Adikmu dulu.”
Ayah terhentak akan suara Ibu membangunkannya.
“Sudah pagi Yah.” Tutur Ibu.
Ayah seketika bangun. Terhunyung-hunyung tubuh tingginya meninggalkan kamar tidur. Diambilnya air wudhu, dibelakang ayahberdiri adikku tengah menguap terbawa ngantuk.
Tik tok tik tok. Waktu menunjukan pukul 06.00. Tas sudah di pundak menggantung. Si motor kesayangan Ayah sudah siap memutarkan rodanya untuk mengantarku dan adikku.
“Ibu, kami berangkat dulu. Doakan. Assalamu’alaikum.”
“Iya hati-hati. Wa’alaikumsalam.”
Motor kesayangan Ayah mulai memutar rodanya. Ayah mengendarainya dengan hati-hati.Ayah tidak akan membiarkan secuil debu menggangguku dan adikku. Roda perlahan berhenti. Turunlah adik di sekolahnya. Tak lama motor mulai memutar rodanya. Ia Nampak lelah, tapi Ayah tetap mengendarainya dengan hati-hati. Kali ini tugas motor kesayangan Ayah sudah selesai. Ayah sudah sampai mengantarku ke sekolah. Dengan hati, aku salam tangan Ayah.
“Aku masuk dulu Yah, Assalamu’alaikum.”
“Iya, hati-hati. Wa’alaikumsalam.”
Dari balik pagar sekolah, aku pandangi tubuh Ayah yang perlahan mulai menjauh. Disela-sela nampak Ayah terbatuk. Kali ini air mataku ingin tumpah tapi ku tahan. Tagihan sudah sudah dua bulan Ayah tidak bekerja karena mesin giling Ayah rusak.
“Ayah, ini ada tagihan lagi, kali ini tagihan listrik. Sudah dua bulan ibu lupa tidak tidak membayarnya.” Ulas Ibu mengejutkan Ayah
“Tagihan lagi Bu.”
“Iya yah”
Pukul empat sore tepatnya aku pulang.
“Assalamu’alaikum” taka da yang menyahut. Aku mulai masuk ke dalam. Tak sengaja aku tengah mendengar Ayah sedang berdoa. Aku sedikit memerhatikan doa beliau.
“Ya Allah, hadiah apa lagi yang engkau berikan kepada hamba? Kenapa begitu nikmat. . Tagihan datang lagi, padahal mesin giling hamba rusak, sehingga hamba tidak dapat berjualan lagi. Bagaimana…”
Air mata ini tak sanggup dibendung. Mana kuasa aku menyerahkan surat pemberitahuan pembayaran study tour yang harus dilunasi bulan ini. Tak terasa kertas itu aku remas. Tak lama, suara Ibu mengejutkanku.
“Sudah pulang? Itu apa yang ditanganmu? Coba ibu lihat.”
“Bukan apa-apa BU, ini hanya nilai ulanganku hari ini.”
“Lalu kenapa mata kamu merah? Seperti habis nangis.” Ibu mnanyaiku seolah ia tahu.
“Merah? Tidak Bu, Ini tadi sedikit kecewa dengan hasil ulanganku. Jadi sedikit menangis.
“Seperti itu, ya sudah sekarang kamu mandi trus shhholat ya!”
Apa? Senin, hari Ibu Ani guru Bahasa Indonesia mengumumkan karya fiksi terbaik yang memang seminggu lalu telah dikumpulkan dan hari ini, hari penentu karya fiksi siapa yang akan mewakili sekolah untuk tingkat Kabupaten, kudengarkan lewat speaker sekolah.
“Hari ini akan saya umumkan karya fiksi terbaik yang akan mewakili sekolah ke tingkat Kabupaten. Dia adalah…
Jantungku berdebar bukan main. Hingga akhirnya…
“Izka, selamat ya. Ibu harap karyamu ini bisa mengantar sekolah kita ke tingkat provinsi dua minggu lagi.”
“Aamiin. Terimakasih atas kepercayaan yang ibu dan sekolah ini berikan kepada saya Bu.”
“Tentu, kamu harus bersiap karena hari Rabu kita akan ke tempat perlombaandan besok pagi kita latihan untuk presentasinya.
“Baik Bu.”
Tik tok tik tok. Tak terasa hari Rabu tiba. Hari perlombaan. Bismillahirahmanirrahim.
“Ibu Ayah, berangkat dulu. Assalamu’alaikum..”
“Hari-hati, Ibu dan Ayah selalu brdoa untukmu, Wa’alaikumssalam.”
Aku berlalu setelah aku cium tangan mulia Ayah dan Ibu.Hari ini si motor kesayangan Ayah tidak mengantarku. Sebab aku akan langsung ke tempat lomba dengan bu Ani. Tepat pukul delapan, perlombaan dimulai.Setelah panjang lebar panitia menyampaikan hal-hal tentang lomba menulis fiksi ini, akhirnya perlombaan dimulai.
Aku goreskan tinta pada lembar kertas bertulis namaku dan asal sekolahku, Diminta oleh panitia agar peserta menulis fiksi bertema kasih sayang. Awal aku sedikit bingung, tapi aku berusaha semaksimal mungkin. Jari jemariku bergerak sedemikian rupa. Ide-ide dalam pikiranku mengalir bagai air terjun. Kutulis diksi cerita berjudul “Tangan mulia Ayah”. Tanpa sadar pula air mataku menetes sewaktu aku menulis karyaku. Dua jam telah berlalu, dan aku telah menyelesaikan tulisanku. Kini tinggal menunggu pengumuman. Di area lomba, hening memeluk ketika panitia menuntda perkataan tentang siapa juaranya. Hingga selang satu menit, riuh suara tepuk tangan memecah dan meneteslah air mataku haru.
“Selamat kepada Izka Har dari SMP Putra Bangsa, sebagai juara pertama dan berhak mewakili Kabupaten ke tingkat Provinsi.” Begitulah yang aku dengar. Ibu Ani memeluku erat. Alhamdulillah Ya Allah.
Ketika Ayah duduk termenung. Ayah duduk melamun. Entah apa yang membuat Ayah terdiam. Secangkir the tersaji dihadapannya. Pagar rumah kubuka. Piala di genggamanku ku bawa berlari.
“Assalamu’alaikum..Ayah, Ibu..” Ayah tekejut.
“Wa’alaikumsalam…”
Aku pulang dan aku langsung memeluk Ayah.
“Ayah lihatlah ini piala untuk Ayah dan Ibu. “Juara satu Ayah.”
Mata Ayah berkaca-kaca. Salah satu matanya meneteskan embun.
“Ayah, Ibu dimana?” tanyaku
“Ibu ada didalam..” Jawab Ayah seraya mengusap embun bening di pipinya.
“Iya, Kedalam sulu Yah.” Aku berlalu dengan menyembunyikan air mata haru. Malam. Bintang bertaburan. Tapi ayah termenung. Ada apa Ayah? Aku mendekati Ayah. Tidak sengaja aku melihat selembar kertas pemberitahuan pembayaran Study Tour. Allah. Aku ceroboh.
“Ayah sudah tahu?” Tanyaku
“Kenapa tidak memberitahu ini sejak awal?”
“Maaf Ayah, takut akan menambah beban Ayah..” Air mataku menitik.
“Beban? Sekarang Ayah bertanya. Apa Ayah pernah bilanh kalau anak-anak Ayah adalah beban bagi Ayah? Tidak kan. Ayah akan berusaha untuk bisa menjadi angin sejuk hidup anak-anak Ayah
“Maaf Ayah.”
“Justru Ayah yang minta maaf, karena Ayah belum bisa menjadi Ayah yang baik untuk kamu dan Adikmu.”
Ayah menangis. Untuk pertama kalinya aku melihat tangis Ayah begitu keras. “Ayah jangan menangis. Aku janji akan menjadi anak yang baik. Ayah tahu tidak? Minggu depan Izka akan berangkat lagi ke Semarang untuk membawa piala lagi,hhehehe..” Ucapku untuk sedikit menghibur Ayah.
“Aamiin. Ayah tunggu pialamu.” Ayah tersenyum lega.
Malam semakin larut. Sosok tua disana masih duduk termenung, padahal sudah aku hibur. Ayah masih memikirkan tagihan? Atau uang saku ku untuk ke Semarang?
Pelangi datang lagi. Seminggu telah berlalu. Hari ini, aku sudah di Semarnag dan siap mengikuti perlombaan. Ayah, Ibu doakan. Bismillahirahmanirrahim. Lomba dimulai. Jari lentikku ini mulai mengukir tulisan. Tema kali ini persahabatan. Rasa bimbang tiba-tiba datang. Tapi Allah selalu membantu hamba-Nya.Ku tulis judul “Allah sahabat hati,Ayah dan Ibu sahabat Hidup.” Entah kenapa setiap kali aku menulis, air mata selalu mengiringi. Satu setengah jam berlalu. Sudah selesai. Detik-detik pengumuman pun tiba. Suasana hening kembali ada. Satu nama disebut dan itu bukan aku. Panas dingin menunggu, hingga akhirnya…
“Juara kedua adalah…..Izka Har dari SMP Putra Bangsa.”
Allah. Sujud ku lakukan. AKu menangis lirih dipeluk Ibu ani yang setia menemaniku.
“Ibu Ani, ini untuk Ayah dan Ibuku, untuk Ibu Ani dan sekolah.” Isak tangisku memegang piala dan amplop uang entah berapa.
Kembali ke rumah.
“Ayah, Ibu ini piala untukmu,terimalah.”
Ayah dan Ibu terharu, embun kecil menetes. Tapi Ayah masih terdiam, hanya embun yang tampak.
“Ayah Kenapa? Apa ayah memikirkan surat pemberitahuan itu?”
“Tidak.” Jawab Ayah menutupi kebenaran.
“Ini Ayah, uang dari lomba tadi dan kemarin, coba Ayah buka!”
Enam ratus ribu rupiah,. Nominal yang lebih besar dari jumlah pembayaran study tour. Ayah tersenyu, lebar. Ayah memeluku erat.
“Kita gunakan uang ini untukk membayar study tour, Yah.”
“Iya, Alhamdulillah.”
Tangis kami pecah. Rasa syukur kami ucapkan kepada Allah. Dari hari itu, Ayah tidak melamun lagi dan keajaiban-keajaiban datang bertubi-tubi dari Allah. Kini Ayah bisa bekerja kembali dan ternyata aku tidak perlu membayar uang study tour, karena sekolah yang akan menanggungnya. Allahuakbar.
Allah selalu bersama orang-orang yang sabar dan giat berusaha serta bekerja.
Ayah engkau adalah Ayah terbaik di dunia dan dunia akan segera mengetahuinya.
Ayah you’re my hero.
Untuk Ayahku. . .
By : Tanpa Nama, Salah satu murid di Kabupaten Kebumen
0 komentar:
Post a Comment